Empat Mata Pelajaran yang Kerap Bikin Siswa Melipir

Pernah tidak, tiba-tiba muncul status WhatsApp atau Instagram dari siswa yang bunyinya begini:

“Guru yang tetap hadir meskipun badai menggila hanyalah… guru matematika.” 🤭🤣

Saya pernah, dan saya ngakak sendiri waktu lihat itu. Ironisnya, dulu saya termasuk siswa yang merasa cukup cemas dengan pelajaran eksakta seperti matematika dan fisika. Bukan karena tidak bisa, tetapi karena “takut” tidak bisa. Ternyata hidup punya humor gelapnya sendiri karena sekarang saya justru jadi guru matematika. 😅

Nah, dari pengalaman itu saya jadi kepikiran untuk membedah persoalan klasik yang kemungkinan besar relate dengan siswa-siswi zaman sekarang.

Quote

Jangan jadikan sekolah hanya untuk mencari nilai, tetapi bagaimana sekolah itu menjadikanmu bernilai.

Benteng Abstrak Bernama Matematika & Fisika

Bagi banyak siswa, Matematika dan Fisika bukan hanya “pelajaran sulit”, melainkan seperti benteng raksasa yang dindingnya menjulang tinggi dan seolah tanpa pintu masuk. Yang bikin runyam bukan sekadar hitung-hitungannya, tapi sifatnya yang kumulatif.

Coba bayangkan Matematika sebagai gedung pencakar langit.

Kalau fondasi di kelas VII, misalnya aljabar dasar, rapuh, jangan berharap bisa santai-santai di lantai 30 saat SMA, tempat trigonometri dan kalkulus menunggu dengan begitu perkasa. Setiap konsep yang terlewat itu sama seperti anak tangga yang hilang. Siswa yang tersandung di satu tangga akan melihat perjalanan ke atas sebagai jurang kegagalan, bukan tantangan.

Fisika menambahkan lapisan tantangan lain: abstraksi.
Siswa diminta “melihat” gaya yang tidak terlihat, “merasakan” energi yang tidak tampak, dan memasukkan rumus $F = ma$ ke dalam situasi yang terasa tidak ada hubungannya dengan kehidupan mereka.

Ketika pengajarannya lebih menekankan: “Ini rumusnya, hafalkan,” daripada: “Begini, lho, kenapa fenomena ini terjadi.” Siswa otomatis kehilangan koneksi. Mereka seolah-olah didoktrin untuk bertanya “Apa rumusnya?” dibandingkan bertanya “Bagaimana bisa seperti itu?”, suatu tanda akhir zaman untuk kemampuan berpikir kritis yang kerap digaungkan pada abad ke-21 ini.

Mereka bukan benci angka. Mereka menghindari kecemasan, rasa tidak berdaya, dan tekanan setiap kali berhadapan dengan simbol-simbol yang tampak seperti tulisan alien. Karya yang menempel di papan tulis setelah pelajaran usai identik seperti prasasti yang ditemukan pada zaman kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara.😅🤣

Museum Hafalan Bernama Sejarah & Biologi

Di ujung spektrum lain, ada mata pelajaran yang tidak abstrak… tetapi penuh hafalan: Sejarah dan Biologi.

Sejarah seharusnya bisa jadi kisah epik tentang perang, intrik kerajaan, drama politik, tragedi, bahkan kisah-kisah heroik kelas dunia. Namun dalam buku teks, kisah spektakuler itu sering tereduksi menjadi daftar tanggal, nama tokoh yang sudah lama wafat, dan peristiwa yang terasa tak relevan bagi siswa yang hidup di era serba digital. Banyak siswa akhirnya bertanya: “Terus, hubungannya sama hidup saya apa?” Ketika Sejarah diajarkan seperti katalog museum alih-alih penceritaan (storytelling) yang hidup, mereka pun memilih mental-checkout, kondisi ketika seseorang benar-benar kehilangan fokus, berhenti memikirkan apa yang sedang terjadi, dan secara mental ‘cabut’ dari situasi. Tubuhnya ada, tetapi pikirannya tidak.

Biologi juga dipenuhi hafalan. Bedanya, bukan tanggal atau nama raja, tetapi istilah Latin dan istilah sulit yang ribet dan asing, seperti retikulum endoplasma, siklus krebs, deoksiribonukleat, dan sebagainya. Padahal, biologi bisa jadi pintu masuk ke keajaiban, tentang bagaimana tubuh bekerja, bagaimana ekosistem saling terhubung, sampai bagaimana kehidupan terbentuk. Namun, fokus sering bergeser menjadi “hafalkan istilah ini”, bukan “pahami kehidupan”. Eksperimen membelah katak seolah-olah seperti hal yang wajib dipelajari dalam biologi dibandingkan sosialisasi tentang penyakit dan pencegahannya dalam kehidupan bermasyarakat.

Musuh Paling Besar: Pertanyaan “Kenapa Aku Harus Belajar Ini?”

Pada akhirnya, empat mata pelajaran ini sering kali dijauhi bukan karena ilmunya sulit, membosankan, atau tidak menyenangkan, tetapi karena gagal menjawab pertanyaan fundamental siswa zaman sekarang: “Apa relevansinya buat hidup saya?” Siswa hari ini hidup di dunia visual, cepat, digital, dan interaktif. Jika pelajaran terasa seperti:

  • abstrak dan jauh dari realita (fisika),
  • penuh tekanan karena harus selalu benar (matematika),
  • seperti peninggalan masa lalu tanpa makna (sejarah), atau
  • seperti kamus istilah ilmiah (biologi),

 maka otomatis pertahanan mental mereka aktif. Mereka tidak menghindari pelajaran itu. Mereka menghindari rasa bosan, cemas, kewalahan, dan tidak memahami bagaimana ilmu itu terkoneksi dengan dunia nyata mereka.

Apa Simpulannya?

Siswa bukan malas. Siswa bukan anti belajar. Mereka hanya mencari pelajaran yang punya makna, terhubung dengan hidup mereka, dan diajar dengan cara yang memanusiakan rasa ingin tahu mereka. Seorang guru memiliki tugas untuk menjembatani mereka dengan hal tersebut, bukan menurunkan standar, tetapi mengubah cara bercerita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *