Pepatah mengatakan, “Guru digugu dan ditiru” (digugu = ditaati). Ini mengindikasikan bahwa guru menjadi teladan dan contoh terutama bagi muridnya. Guru juga mendapat gelar sebagai orang tua anak di lingkungan sekolah. Sejarah juga mengangkat guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Peran guru yang vital dalam membentuk kepribadian putra-putri bangsa menjadi satu dari sekian banyak alasan mengapa peran guru sangat penting.
Peran guru selain mengajar adalah mendidik. Sebagai seorang teladan, guru seharusnya memberikan contoh yang baik kepada muridnya untuk ditiru. Perilaku positif yang ditularkan guru kepada muridnya sangat memengaruhi aspek afektif dan psikomotorik siswa. Untuk itu, diharapkan guru dapat bersikap profesional dan menjaga sikapnya di depan siswa.
Kenyataannya di lapangan, tidak semua guru patut dijadikan teladan. Beberapa dari mereka justru melakukan perilaku yang tidak pantas untuk ditiru dan berisiko merusak moral anak bangsa. Parahnya lagi, terjadi diskriminasi antara guru dan siswa yang sifatnya sangat subjektif, misalnya guru tidak ditegur ketika makan di kelas, sedangkan siswa yang mungkin hanya mengunyah sebutir permen langsung dikeluarkan dari kelas bila ketahuan oleh guru yang sedang mengajar.
Baik calon guru, guru pemula, maupun guru senior pasti pernah melakukan kesalahan dalam mengajar. Terlepas dari semua itu, hal yang penting sebetulnya adalah kebijaksanaan kita untuk tidak lagi mengulangi kesalahan tersebut dan berusaha memperbaikinya sehingga dapat dijadikan sebagai suatu pembelajaran dan pengalaman berharga. Kesalahan apakah itu? Simak selengkapnya pada uraian berikut.
1. Duduk di Atas Meja Ketika Mengajar
Pernah suatu kejadian di mana guru SMP saya sedang menjelaskan materi (bahan ajar), ia berdiri di dekat meja siswa paling depan. Tujuannya adalah untuk menarik perhatian siswa selama proses pembelajaran berlangsung (ini merupakan trik umum bagi para guru). Mungkin karena ia lelah, ia kemudian membelakangi mejanya sendiri, lalu duduk di atas meja dengan raut muka santainya. Kami sebagai siswa tentu tidak punya kuasa atau wewenang untuk menegurnya.
Sudah menjadi aturan umum bahwa meja bukanlah tempat duduk. Duduk di atas meja mencerminkan ketidaksopanan dan kurangnya etika berperilaku. Hal ini sering dijumpai di kelas terutama pada saat waktu istirahat berlangsung. Sejumlah siswa terutama siswa laki-laki duduk di atas meja sambil berbincang-bincang membahas hal di luar pelajaran sekolah. Ketika guru memasuki kelas, barulah mereka berdiri, lalu bergegas kembali ke bangkunya.
Meskipun ada kemungkinan bahwa kebiasaan siswa duduk di atas meja karena pengaruh lingkungan tempat tinggalnya, guru tetap harus menegur sekaligus memberikan contoh yang baik bahwa duduk di atas meja bukanlah perilaku yang patut diteladani. Jangan sampai perilaku guru yang duduk di atas meja mengakibatkan mereka berpikir bahwa hal itu merupakan hal yang lumrah dan tidak menjadi masalah.
2. Merokok
Sebagai seorang guru, merokok sejatinya dapat mengurangi kesan positif siswa kepadanya. Guru yang merokok apalagi di dalam kelas jelas menganggu kondisi pembelajaran karena asap yang ditimbulkan bisa jadi menimbulkan alergi bagi siswa tertentu atau mengacaukan konsentrasi siswa. Parahnya lagi, kesehatan siswa menjadi ancaman karena mereka berperan menjadi perokok pasif (penghirup asap rokok). Kabar baiknya, belakangan ini, banyak sekolah swasta yang telah melarang merokok bagi siapapun dalam ruang lingkup lingkungan sekolah, dengan memberi julukan “Sekolah Sehat”. Lain halnya dengan situasi di lingkungan perguruan tinggi (kampus). Berdasarkan pengalaman personal, banyak ditemukan dosen-dosen senior yang mengajar dengan gayanya yang kaku sambil merokok di depan kelas. Mahasiswa pun tidak mungkin menegurnya karena mempertimbangkan norma kesopanan dan takut nilainya menjadi ancaman.
Kesimpulannya, guru dianjurkan tidak merokok. Tidak hanya guru, profesi apapun juga dianjurkan untuk tidak merokok. Selain merusak kesehatan dan menghabiskan uang, merokok juga memberi efek negatif terhadap orang lain. Ingat slogan, kesehatan adalah harta paling berharga bagi manusia.
3. Mengajar Sambil Makan
Guru yang mengajar sambil makan merupakan suatu kesalahan. Ini dikarenakan kata-kata yang diucapkan olehnya akan sulit dipahami karena mulutnya mengunyah makanan. Hal ini memungkinkan siswa tidak mengerti apa yang dibicarakannya dan meminta pengulangan sehingga mengurangi efektivitas pembelajaran.
Lebih lanjut, kelas adalah tempat yang dipakai untuk melaksanakan KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) dan bukan untuk makan. Guru yang makan di kelas akan dipandang tidak memiliki etika karena tidak bisa membedakan tempat makan dan tempat mengajar, serta tidak dapat mengatur waktu untuk makan dan mengajar.
Jika kita meninjau dari pihak siswa, tentu saja kebanyakan siswa sangat setuju belajar sambil makan di dalam kelas. Namun, keinginan tersebut tidak mungkin diwujudkan karena setiap sekolah melarang siswa untuk makan sambil belajar karena dikhawatirkan dapat memecahkan konsentrasinya. Sebagai seorang teladan, guru juga harus menghargai siswa, salah satunya adalah dengan tidak makan di kelas.
4. Mengajar Sambil Bermain HP
Di era modern seperti saat ini, gadget berupa HP sudah mencandukan banyak orang. Kebutuhan akan informasi yang instan dan hiburan membuat HP naik peringkat menjadi kebutuhan primer. Hal ini menjadi spekulasi karena penggunaannya yang berlebihan menimbulkan efek negatif yang dapat merusak moral dan tatanan kehidupan.
Di momen saat KBM berlangsung, guru dan siswa tiba-tiba dikagetkan oleh suara dering HP. Sontak saja, pembelajaran terhenti seketika dan konsentrasi siswa buyar. Suasana akan semakin tak kondusif apabila HP yang berbunyi itu adalah milik salah satu siswa. Lain ceritanya bila HP itu adalah milik sang guru. Kemungkinan besar ia akan mengecek HP atau menerima panggilan kontak. Hal ini mau tak mau membuat siswa harus menunggu. Di saat seperti itu, efektivitas pembelajaran sudah berada dalam zona kuning.
Tidaklah keliru setiap sekolah membuat kebijakan untuk melarang siswa membawa atau mengaktifkan HP saat proses belajar berlangsung. Namun, hal ini terasa tidak adil apabila guru bermain HP di kelas, memberikan contoh pelanggaran aturan yang ditetapkan sekolah bagi murid. Oleh karena itu, tidak heran bila sekolah yang menetapkan aturan seperti itu justru diabaikan oleh murid karena tidak ada contoh dari gurunya.
5. Tidur di Zona Sekolah
Seorang guru yang tertidur di kelas, ruang guru, dan di tempat lain dalam zona sekolah memberikan contoh yang tidak baik jika dilihat oleh siswanya. Parahnya lagi, guru yang tertidur di kelas saat mengajar atau pun mengawas ulangan. Hal ini sering terjadi karena guru merasa jenuh (bosan) atau mungkin ia kurang tidur. Efeknya fatal. Guru tersebut kehilangan wibawa dan akan ditertawakan oleh siswanya. Pembelajaran juga akan terhenti. Kejujuran siswa akan dipertanyakan dalam mengerjakan soal jika guru tertidur saat mengawas ulangan.
6. Mendominasi Kelas
Guru tidak dituntut untuk mendominasi kelas. Ia seharusnya tidak menjadi orang yang paling pandai di kelas, karena sejatinya hal ini dapat membuat siswa kehilangan motivasi dan menjadi pasif. Guru bertindak sebagai seorang fasilitator dan berupaya membuat siswa terlibat aktif dalam pembelajaran dengan berbagai macam metode, model, maupun pendekatan pembelajaran.
Seorang guru juga tidak boleh mengganggap dirinya paling pandai di kelas. Ia tidak boleh selalu merasa paling benar. Jika terjadi, kondisi di kelas akan terasa sangat kaku. Kebebasan berpendapat siswa menjadi terbatas. Ini tak jauh berbeda dengan robot yang dikendalikan oleh remote control.
7. Berperilaku Kasar Kepada Siswa
Di suatu momen guru berkata, “Materi ini kan sudah Bapak jelaskan minggu lalu. Kok kalian belum paham-paham sih? Bodoh, kalian!”, maka di saat itulah, guru sudah meruntuhkan motivasi belajar siswa. Seorang guru seharusnya berlandaskan prinsip bahwa “tidak ada satupun siswa yang bodoh”. Mereka semuanya memiliki potensi dan kesempatan yang sama untuk belajar. Kemampuan mereka dalam menyerap ilmu mungkin saja berbeda-beda, tetapi ini bukanlah alasan untuk berbuat demikian.
Sebagai seorang teladan, guru tidak selayaknya mengucapkan kata-kata kasar yang dapat menyinggung perasaan siswa (mereka kan juga punya hati, toh). Gunakanlah kata-kata yang bersifat menegur, tetapi dapat memacu mereka untuk menjadi lebih baik. Selain berkata, guru juga harus menjaga perilakunya agar tidak berbuat kasar terutama secara fisik. Selain melanggar HAM, kekerasan fisik juga berpotensi memberikan rasa trauma kepada siswa sehingga ia akan menjadi tidak nyaman bersama guru yang bersangkutan.
8. Bersikap Subjektif dalam Penilaian
Seorang guru yang memiliki hubungan dekat dengan siswa cenderung akan bersikap simpati apabila nilai siswa pada pelajaran yang diampunya tidak tuntas (rendah). Ini memberi kemungkinan bahwa guru itu akan menaikkan nilainya (terutama pada rapor). Kenyataannya, nilai tersebut tidak mencerminkan kemampuan siswa tersebut sehingga penilaian guru menjadi subjektif. Kejadian ini hampir selalu terjadi di setiap sekolah sehingga “dianggap” sebagai hal yang biasa.
Dilema mungkin terjadi, tetapi profesionalitas tetap harus dijunjung tinggi. Selain itu, guru yang kesal atau kecewa dengan siswa tertentu juga tidak boleh “main nilai”. Ia tidak selayaknya menurunkan nilai siswa tersebut karena hal itu. Intinya, penilaian siswa harus bersifat objektif (apa adanya) dan mencerminkan kemampuan mereka secara utuh.
9. Tidak Disiplin
Bolos mengajar, terlambat masuk kelas, atau menggunakan seragam yang tidak sesuai (atau tidak pantas) merupakan sejumlah contoh tindakan yang mencerminkan ketidakdisiplinan guru dalam dunia pendidikan. Ketika guru bolos mengajar dengan berbagai alasan, maka rancangan pembelajaran akan menjadi simpang siur. Guru yang terlambat masuk kelas juga memberi citra (image) buruk bagi siswa karena mereka berpikir bahwa siswa juga seharusnya boleh terlambat masuk kelas di pelajaran itu. Betapa bahayanya apabila ada siswa yang bersikap tidak disiplin karena ia meniru gurunya atau menjadikan gurunya sebagai tameng alasan untuk membela diri. Benar-benar ironis. Oleh karena itu, guru harus menjunjung tinggi kedisiplinan.
10. Memberikan Tugas Tanpa Menjelaskan
Sering kali terdengar ada guru terutama mata pelajaran eksak seperti matematika yang memberi tugas berupa soal tetapi ia sendiri belum menyampaikan materinya. Akibatnya, siswa menjadi bingung dan mau tak mau harus berjuang untuk memahami sendiri materi yang bersangkutan. Siswa juga berpotensi semakin benci dengan pelajaran dan guru tersebut. Dalam hal ini, peran guru sebagai fasilitator kembali dipertanyakan. Satu poin, bimbingan tetap siswa perlukan. Jangan biarkan mereka berkelana sendirian.
11. Tidak Menguasai Bahan Ajar
Bagaimana jadinya bila guru tidak memahami bahan yang akan ia ajarkan kepada siswanya? Dari gelagat bicaranya, kita dapat menduga bahwa guru tidak menguasai materi apabila ia kaku dalam menjelaskan dan sering tidak konsisten dalam ucapannya. Beribu alasan tak dapat menjadi tameng untuk memberi toleransi kepada guru yang tidak menguasai bahan ajar. Bagaimana ia hendak membuat siswa memahami materi sedangkan ia sendiri tidak memahaminya? Satu hal yang ironis. Asas profesionalitas guru dipertanyakan.
12. Tidak Peduli Dengan Kondisi Siswa
Ada benarnya guru harus memeriksa presensi (kehadiran) siswa setiap masuk kelas. Selain membuat guru menjadi tahu nama siswa dan posisi duduknya, proses tersebut juga mendekatkan guru dengan siswa. Guru akan tahu siswa mana yang sering tidak hadir (sakit, bolos, dan sebagainya) sehingga ia dapat memberikan penanganan ke depannya.
Selain itu, guru juga harus memahami kondisi siswa setiap waktu. Tidak setiap saat mereka dapat menyerap ilmu yang disampaikan dengam baik. Dalam hal ini, guru harus berusaha memberikan penanganan khusus agar siswa menjadi termotivasi dalam belajar. Guru juga dapat mendekatkan diri dengan siswa, misalnya mengajar diselingi candaan, menanyakan kabar, saling menyapa, dan sebagainya. Lama kelamaan, siswa akan merasa diperhatikan sehingga pembelajaran dapat berjalan lebih efektif.
Baca Juga: Kumpulan Soal Persiapan Ujian Seleksi Program PPG
Referensi
Arif Rahman, Masykur. 2012. Kesalahan-kesalahan Fatal Paling Sering Dilakukan Guru dalam Kegiatan Belajar Mengajar. Yogyakarta: DIVA Press.